Facilitation With Empathy

Zen facilitazion menjadi wacana masa depan  Vibrant facilitation. Seperti kita ketahui, dunia ini dibangun dari percakapan-perakapan. Bisa Anda bayangkan kalau kualitas percakapan menjadi kian buruk, maka dunia seperti apa yang akan terjadi di masa depan?

Vibrant Facilitation adalah upaya menyempurnakan  percakapan-percakapan antar kita. Apa hal-hal mendasar bagi fasilitator yang ingin memperbaiki kualitas percakapan banyak pihak?

Dani Wahyu Munggoro dari INSPIRIT atau Inspirasi Tanpa Batas, kali ini mengupas tentang sikap-sikap dasar yang teramat  penting dimiliki seorang fasilitator yang keren.

Apa saja itu?

Miliki Minat

Ada empat sikap yang penting dipegang oleh seorang fasilitator : Pertama, minat. Minat ini menjadi penting pada saat kita ingin menjadi seorang fasilitator. Terutama minat untuk membantu orang lain; minat untuk membuat orang lain  lebih keren dari kita;  minat supaya organisasi lain lebih keren dari kita; itulah hal penting di dalam peran kita atau sikap kita sebagai seorang fasilitator.

Jadi di sini yang paling penting adalah bertanya kepada diri sendiri: Apakah saya suka atau tidak suka pada sesuatu yang ingin kita kerjakan (?)

Sama juga kalau kita ingin menjadi seorang fasilitator. Paling tidak, kita bertanya apakah saya suka untuk membantu orang lain lebih keren; Apakah saya suka membuat organisasi lain lebih keren atau; apakah saya suka kalau komunitas-komunitas dimanapun akan menjadi sangat keren bila saya bisa menjadi fasilitatornya?

Jadi di sini yang menjadi penting adalah bagaimana membuat orang lain itu menjadi lebih keren ya! Nah, untuk itu dibutuhkan interest atau minat. Bahwa kita memang punya minat, pada kepentingan atau tujuan yang mereka ingin capai, tapi secara konten kita juga berminat.

Saya pernah terpaksa menolak sebuah proses fasilitasi karena saya tidak terlampau yakin atau suka dengan kontennya itu. Kekhawatiran saya adalah kalau saya tidak suka, maka proses fasilitasi pasti akan hambar.

Kalau proses itu hambar, sebenarnya kita sedang mencelakai orang lain atau membuat orang lain tidak bisa mencapai tujuan terbaiknya. Di sinilah minat menjadi hal yang sangat penting.

Positif Tanpa Syarat

Kemudian yang kedua, kalau kita punya motivasi yang luar biasa atau punya minat kepada sesuatu, maka kita memiliki energi berlebih untuk bisa mendalami sesuatu.

Misalnya, saya suka dengan teknologi internet, teknologi virtual conference. Maka, saya  –mau tidak mau– mencoba teknologi apapun, yang kaitannya dengan virtual meeting. Baik teknologinya maupun proses-prosesnya, aplikasi-aplikasinya dan sebagainya, itu dieksplorasi  karena saya punya minat.

Kalau minat itu kemudian melahirkan motivasi, maka di sinilah, hal itu menjadi sangat penting. Seorang fasilitator, pada gilirannya ‘kan bukan penasehat, bukan konsultan, bukan expert. Kita sebenarnya adalah kawan. Kawan belajar yang membantu kawan untuk bisa mencapai tujuannya. Ya membantu semua proses itu dengan (mengajukan) pertanyaan, atau kalau memang  stuck kita buatkan alat bantu, dan lainnya. Supaya pertemuan pertemuan itu bisa menghasilkan sesuatu yang luar biasa.

Kalau minat ini bisa membangkitkan motivasi, maka motivasi inilah yang membuat kita positif tanpa syarat pada kelompok keompok yang ingin kita bantu.  

Jadi, kalau kita punya minat pada seseorang, kemudin juga kita punya motivasi untuk bertemu, untuk ngobrol atau untuk melakukan apapun. Pada akhirnya kita juga   akan memahami orang itu. Dan kita bersikap positif tanpa syarat.

Sikap positif tanpa syarat, itu akibat dari interaksi, akibat kita memahami cara mereka berpikir, cara mereka bersikap; kita memahami apa yang sebenarnya dirasakan.

Nah di sini, di  dalam proses fasilitasi –kita tidak punya apa-apa–  maka kita harus percaya pada kelompok itu untuk mencapai tujuannya. Percaya dan positif tanpa syarat.

Empathy

Kembali ke soal tadi; minat, motivasi dan positif tanpa syarat. Dan ketika kita positif tanpa syarat, maka  kita harus percaya bahwa kelompok itu bisa memecahkan masalahnya,  kelompok itu mampu mencapai tujuannya.

Keseluruhan proses inilah yang sebenarnya sering disebut sebagai empati. Berbeda dengan simpati.  Kalau simpati,  ya.. merasa kasihan saja.  ‘’Kasihan ya orang itu terpuruk,’’ tetapi kita tidak melakukan apa-apa. Kita hanya bercerita kepada orang lain bahwa kita (merasa) kasihan dengan orang itu.  

Empathy is the ability to understand and share

the feelings and emotions of others.

Di dalam proses empati, kita seakan berada di dalam sepatunya orang lain. Jadi setiap kita (sebagai fasilitator)  memberikan pertanyaan, menciptakan alat bantu dan sebagainya, selalu berpikir dari sisi peserta.  Dari sisi orang yang sedang kita bantu. Dengan cara itulah empati ini kita asah, untuk bisa merasakan orang lain.

Di dalam proses fasilitasi, yang sebenarnya terjadi adalah bagaimana membangun koneksi-koneksi antar peserta. Koneksi-koneksi yang genuine inilah yang kemudian akan melahirkan empati, yang pada proses fasilitasi lebih dalam,  sering disebut sebagai compassion.

Compassion ini lebih tinggi dari empati.  Boleh jadi, kita melakukan apa yang mereka lakukan, kita matching dengan apa yang sedang dirasakan oleh peserta. Energi kita sama, suara kita sama, nafas kita sama, tubuh kita boleh jadi juga sama di dalam membangun Interaksi yang matching tadi.

Itulah sikap dasar yang penting bagi seorang fasilitator. Pertama, kita harus punya minat; Kedua kita positif tanpa syarat bahwa orang yang kita bantu memiliki kemampuan untuk memecahkan masalahnya sendiri. Kemudia tahapan  Ketiga, kita percaya bahwa mereka bisa melakukan apapun tanpa harus khawatir. Dan yang Keempat adalah empati.

Kalau keempat-empatnya bisa kita aktivasi, kita bisa meloncat ke compassion. Inilah yang akan menjadi cikal bakal dari Zen facilitation. Fasilitasi yang lebih dalam (namun), bisa jadi lebih sederhana. Percakapan dari hati ke hati dalam menangkap panggilan masa depan. ***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *