Ikhtiar Menyemai Rimbawan Unggul 

Oleh Dani Wahyu Munggoro, INSPIRIT

Ada yang berdesir di antara rerimbunan daun, di jantung hutan yang senyap. Ia bukan sekadar angin, melainkan sebuah gagasan yang sedang mencari wujud. Sebuah ikhtiar untuk menafsir ulang hubungan antara manusia dan hutan, yang kini diberi nama—Forestry Human Excellence.

Di ufuk politik yang baru, di bawah langit pemerintahan 2025-2029, desiran itu menemukan resonansinya. Komitmen pada iklim dan FOLU Net Sink 2030 bukan lagi sekadar angka dalam dokumen, melainkan sebuah panggilan. Dan panggilan itu tak bisa dijawab dengan cara-cara lama yang letih; ia menuntut manusia yang terbarukan.

Maka, ketika Asta Cita ke-4 dirumuskan—”Melestarikan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam, serta Memajukan Kebudayaan yang Berkelanjutan”—gagasan ini seakan menemukan rumahnya. FORHUMAN — Forestry Human Exellence — menjadi semacam catatan kaki di rerimbunan hutan, sebuah tafsir hidup atas cita-cita itu.  Di sini, tak ada lagi sengketa abadi antara laba dan lestari, sebab keduanya dirajut dalam satu helaan napas.

Tentang Jiwa yang Bertumbuh

Semua bermula dari sebuah pergeseran di dalam diri, apa yang kini disebut mindset transformation. Tapi ia lebih dari itu: sebuah pertobatan ekologis. Sebuah kesadaran bahwa setiap jejak yang kita tinggalkan di lantai hutan adalah warisan—atau beban—bagi zaman yang akan datang.

Kompetensi, dalam lanskap ini, bukan lagi sekadar daftar keahlian. Ia adalah sebentuk kearifan. Pengetahuan teknis kehutanan hanyalah aksara dasar, namun kemampuan memimpin, berinovasi dengan sentuhan digital, dan berniaga dengan nurani hijau, adalah sajaknya.

Belajar pun tak lagi terpenjara dalam ruang-ruang formal. Hutan menjadi universitas tanpa dinding, tempat setiap sulur yang merambat dan setiap serangga yang berdengung adalah dosen yang tak meminta gelar. Di sinilah talenta-talenta unggul itu ditempa, bukan oleh kurikulum, tapi oleh musim.

Teknologi memang menawarkan matanya yang tak berkedip: data real-time dari gawai, prediksi akurat dari big data. Namun, Asta Cita juga bicara tentang kebudayaan. Maka, teknologi harus tunduk pada kearifan lokal, pada sentuhan tangan yang memahami denyut tanah.

Tiga Arus, Satu Muara

Arsitektur ikhtiar ini ditopang oleh tiga arus yang mengalir ke muara yang sama. Pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan tak lagi berlayar dengan kapalnya sendiri-sendiri. Mereka adalah tiga anak sungai yang menyatu, menjadi deras untuk menggerakkan kincir perubahan.

Arus pertama bermula dari hulu: SMK Kehutanan. Di sini, benih-benih rimbawan muda disemai. Mereka bukan sekadar disiapkan untuk bekerja, tapi untuk menjadi penjaga terdepan dari sebuah janji.

Arus kedua adalah Balai Penyuluhan dan Pengembangan SDM (Balai P2SDM), tempat arus itu dipercepat. Di sini, keahlian tak lagi diasah, tapi diasah-tajam. Fokusnya bergeser, dari sekadar tukang menjadi seniman wirausaha, yang mampu melukis peluang di atas kanvas hutan.

Di hilir, para penyuluh tak lagi datang sebagai guru yang menggurui. Peran mereka luruh, menjadi kawan seperjalanan. Mereka adalah penerjemah sunyi, yang mengubah bahasa kebijakan menjadi aksi yang menghidupi denyut ekonomi masyarakat.

Mesin Sunyi Ekonomi Hijau

Sebuah jalur talenta dirancang, bukan seperti pabrik, tapi seperti kebun. Bibitnya diambil dari tanah itu sendiri: anak-anak komunitas yang nadinya telah menyatu dengan nadi hutan. Ikatan batin mereka adalah modal yang tak terbeli.

Di kebun ini, mereka dirawat, dipupuk, dan dikembangkan dalam sebuah sistem yang hidup. Data menjadi kompas, tapi bukan satu-satunya. Meritokrasi menggantikan hirarki yang beku, membiarkan yang terbaik tumbuh meninggi.

Hasilnya adalah tiga wujud manusia baru: lulusan yang tangkas, aparatur yang tercerahkan, dan masyarakat yang berdaulat. Mereka adalah human capital, modal insani yang akan menjadi mesin sunyi di balik agenda ekonomi hijau.

Maka, keberhasilan tak lagi diukur dari riuh tepuk tangan di akhir pelatihan. Ia diukur dari heningnya transaksi yang bertumbuh di antara Kelompok Tani Hutan. Dari angka-angka yang menjelma menjadi asap dapur yang mengepul dan senyum yang terkembang.

Di belakang panggung, empat pusat menjadi jantung yang memompa darah ke seluruh tubuh gagasan ini. Masing-masing menanggalkan jubah lamanya, mengenakan peran baru yang lebih menantang. Pusat Perencanaan menjadi arsitek, Pusat Diklat menjadi inkubator, Pusat Penyuluhan menjadi fasilitator pasar, dan Pusat Pengembangan Generasi menjadi penyemai masa depan.

Dua mimpi besar menopang semua ini. Pertama, mendirikan sebuah Corporate University yang tak hanya megah gedungnya, tapi juga dalam pemikirannya. Sebuah jembatan antara menara gading kebijakan dan lumpur kenyataan di lapangan.

Mimpi kedua adalah memberi jiwa baru pada Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK). Ia tak lagi menjadi lahan tidur yang membebani. Ia akan menjadi panggung tempat inovasi dipentaskan, laboratorium tempat masa depan diuji coba.

Tentu, setiap ikhtiar adalah pertaruhan. Akan selalu ada resistensi, seperti akar tua yang enggan dicabut. Akan selalu ada keterbatasan, seperti musim kemarau yang menguji.

Namun, FORHUMAN bukan lagi sekadar gagasan kosong di atas meja. Ia adalah sebuah komitmen yang telah terucap, sebuah upaya menerjemahkan Asta Cita ke dalam bahasa daun dan tanah. Sebuah pergeseran takdir, dari sekadar penjaga menjadi penggerak sebuah peradaban yang berkelanjutan dan inklusif.Ini bukanlah akhir dari sebuah cerita. Ini adalah kalimat pembuka dari sebuah perjalanan panjang. Dan keberhasilannya, kelak, akan menjadi sumbangan sunyi dari sektor kehutanan untuk Indonesia Emas 2045 yang kita dambakan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *