Secangkir Kopi Zen
oleh Dani Wahyu Munggoro
Hidup ini memang bikin pusing. Pikiran kita muter-muter terus seperti gasing. Buku A Cup of Zen ini mengajarkan bahwa gasing itu tidak akan berhenti, tapi kita bisa berhenti melihatnya berputar.
Ada cerita soal seorang murid yang selalu bertanya. Dia bertanya seakan-akan semua jawaban bisa ditemukan di buku. Gurunya cuma menyuruhnya pergi ke kebun, sebab jawaban yang dicari tidak ada di sana.
Soal cangkir teh yang penuh juga menarik. Seorang profesor datang dan merasa dirinya paling pintar, tapi gurunya malah menuang teh sampai meluber. Rupanya, gurunya ingin bilang, cangkir yang penuh tidak bisa diisi lagi, sama seperti kepala yang sudah merasa pintar.
Coba pikirkan, kita ini sering sibuk mencari jalan keluar. Padahal kadang, jalan keluarnya itu justru saat kita berhenti mencari. Kisah-kisah Zen ini mengajarkan kita untuk tidak terlalu ngotot.
Ada juga kisah tentang dua biksu dan seorang wanita. Biksu senior menggendong wanita itu menyeberangi sungai, tapi biksu junior terus memikirkannya sepanjang perjalanan. Ini menunjukkan bahwa melepaskan tidak berarti melupakan, tapi tidak membawa beban itu terus-menerus.
Kita sering menganggap pencerahan itu hal yang besar. Padahal di buku ini, pencerahan bisa ditemukan saat mencuci piring. Pencerahan itu bukan peristiwa langka, melainkan saat kita benar-benar hadir saat melakukan hal-hal sederhana.
Terkadang kita merasa sangat penting. Padahal, kita ini cuma remah-remah rempeyek di alam semesta. Cerita-cerita Zen ini mengingatkan, ego itu seperti balon yang kalau ditiup terus, ya pecah juga.
Ada biksu yang meditasi bertahun-tahun. Tapi dia tetap belum mengerti apa-apa, sampai dia mendengar suara katak yang melompat. Ini mengajarkan bahwa jawaban bisa datang dari mana saja, bahkan dari suara katak.
Kita semua ingin mengubah dunia. Tapi kata cerita Zen ini, yang harus diubah itu bukan dunianya, melainkan cara kita melihat dunia. Dunia tetap sama, kita saja yang harus mengganti kacamata.
Biksu dan murid lain disuruh duduk diam. Mereka duduk sampai lama sekali, dan tiba-tiba sang murid mengerti semuanya. Ini bukti bahwa dalam keheningan, kita bisa mendengar sesuatu yang tidak bisa didengar dalam keramaian.
Mengapa kita harus takut pada kesalahan? Kisah-kisah Zen di sini menunjukkan bahwa kesalahan adalah bagian dari proses. Kalau tidak salah, mana bisa kita tahu mana yang benar?
Ada cerita soal seorang samurai yang menantang seorang biksu. Samurai itu ingin tahu soal surga dan neraka. Biksu itu malah menghinanya, dan samurai itu marah besar, dan saat itulah biksu berkata: “Itulah neraka.”
Cerita yang sama berlanjut, saat samurai itu tersadar dan meminta maaf. Tiba-tiba dia merasa damai dan hormat. Biksu itu pun berkata: “Itulah surga.” Surga dan neraka itu ternyata ada di dalam diri kita.
Kita selalu ingin tahu masa depan. Seakan-akan masa depan adalah jaminan kebahagiaan. Buku ini bilang, masa depan itu tidak ada, yang ada cuma sekarang.
Kalau hidup ini seperti perjalanan panjang, kita sering terburu-buru. Padahal kata buku ini, nikmati saja pemandangan di pinggir jalan. Jangan cuma sibuk melihat peta.
Banyak orang bilang, “Hidup ini keras.” Tapi buku ini malah berkata, “Hidup itu lembut kok.” Mungkin kita saja yang sering bikin dia jadi keras karena terlalu kaku.
Pernah lihat anak-anak main? Mereka tidak punya beban pikiran, mereka cuma asyik bermain di momen itu. Buku ini menyarankan kita untuk sesekali menjadi anak kecil lagi.
Kita sering membuat masalah jadi besar. Padahal masalah itu, kalau dibiarkan saja, kadang bisa selesai sendiri. Coba saja, tidak usah terlalu panik.
Buku ini seperti secangkir kopi hitam. Awalnya pahit, tapi kalau diminum pelan-pelan, kita bisa merasakan aromanya yang dalam dan menenangkan. Pelajaran hidup memang seperti itu, butuh dinikmati.
Jadi, jangan terlalu serius. Jangan terlalu banyak berpikir. Nikmati saja cerita-cerita Zen ini, mungkin saja tiba-tiba kita juga bisa menemukan pencerahan, entah saat baca koran atau saat menunggu lampu merah.