Seni Mencipta Narasi

Oleh Dani Wahyu Munggoro, INSPIRIT

Ada sebuah keganjilan yang seringkali terasa begitu nyata di dalam ruang-ruang rapat pemerintahan kita, sebuah ironi yang tersembunyi di balik formalitasnya. Di sanalah orang-orang paling pintar dengan gelar berderet dan pengalaman segudang berkumpul untuk memutuskan nasib bangsa. Namun, entah bagaimana, ide-ide besar dan gagasan-gagasan cemerlang yang seharusnya lahir dari pertemuan itu justru seringkali layu sebelum berkembang, mati suri dalam kebisuan.

Coba perhatikan para pejabat eselon yang menjadi tulang punggung birokrasi, figur-figur yang kita harapkan menjadi motor penggerak kemajuan. Mereka adalah produk dari sistem pendidikan terbaik dengan rekam jejak pengalaman yang membentang luas dari Sabang sampai Merauke. Dan jangan tanyakan soal data, sebab mereka menguasai angka dan fakta secara komprehensif, lengkap hingga ke detail-detail terkecil yang seringkali luput dari perhatian kita.

Akan tetapi, sebuah paradoks terjadi ketika mereka berdiri di depan untuk memaparkan gagasannya, karena presentasi yang seharusnya mencerahkan itu justru seringkali berubah menjadi pengantar tidur yang paling efektif. Layar proyektor menampilkan slide yang penuh sesak dengan barisan tulisan berukuran kecil yang menyiksa mata. Di sampingnya, kolom-kolom angka yang rumit berbaris rapat laksana semut, menciptakan sebuah pemandangan yang lebih mengintimidasi daripada menginspirasi.

Fenomena ini punya julukan yang terkenal di seluruh dunia, sebuah istilah yang terdengar dramatis namun akurat: ‘Death by PowerPoint’ atau Mati karena PowerPoint. Nama ini mungkin terdengar seperti sebuah lelucon, sebuah hiperbola untuk menggambarkan kebosanan. Tapi jangan salah, sesungguhnya ini adalah refleksi dari sebuah penyakit kronis yang telah menggerogoti efektivitas komunikasi di birokrasi kita selama bertahun-tahun.

Penyakit ini sesungguhnya tidak bersumber dari perangkat lunak atau teknologi presentasi itu sendiri, sebab PowerPoint hanyalah sebuah alat yang netral. Akar masalahnya jauh lebih dalam, yaitu tentang cara kita berpikir yang keliru dan sebuah paradigma komunikasi yang sudah usang. Ini adalah persoalan budaya organisasi yang secara tidak sadar terus dilestarikan, sebuah kebiasaan yang kini menuntut untuk dirombak secara fundamental.

Padahal, taruhan yang ada di balik setiap presentasi itu bukanlah perkara main-main, terutama ketika menyangkut urusan vital seperti pengelolaan hutan dan lingkungan. Di setiap slide yang membosankan itu, sesungguhnya nasib ekologis dan ekonomi bangsa ini sedang dipertaruhkan. Sebuah kegagalan kecil dalam meyakinkan bisa berakibat fatal.

Satu presentasi yang gagal bisa berarti usulan anggaran strategis ditolak mentah-mentah oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Investor hijau yang potensial bisa lari tunggang langgang karena tidak melihat visi yang jelas. Dan yang lebih menyedihkan, program perhutanan sosial yang dirancang dengan baik bisa menjadi tak berarti karena masyarakat tidak pernah benar-benar memahaminya.

Maka, kemampuan berkomunikasi ini bukan lagi sekadar soft skill yang bisa dianggap sebagai pelengkap atau hiasan. Ia telah bertransformasi menjadi kompetensi inti yang paling krusial bagi seorang pemimpin di era modern. Kemampuan untuk meyakinkan audiens adalah segalanya, karena tanpa itu, ide terbaik sekalipun tidak akan pernah menjadi kenyataan.

Lalu di mana letak masalahnya? Analisis yang mendalam menunjukkan bahwa masalahnya tidak terletak pada kapasitas intelektual para pejabat. Persoalannya ada pada mindset yang sudah terlanjur mengakar, pada kebiasaan-kebiasaan lama yang sulit diubah.

Budaya organisasi kita secara historis lebih menghargai kelengkapan data di atas segalanya, seolah-olah menumpahkan semua informasi adalah puncak dari sebuah pekerjaan. Kejelasan makna dan dampak narasi seringkali dikesampingkan, dianggap sebagai nomor dua. Ini adalah sebuah kekeliruan fatal yang harus segera kita perbaiki bersama.

Seharusnya, beban untuk menerjemahkan data yang rumit menjadi sebuah cerita yang jernih dan mudah dicerna ada di pundak sang presenter. Bukan sebaliknya, melempar begitu saja tumpukan data mentah kepada audiens dan berharap mereka memahaminya sendiri. Inilah esensi dari apa yang disebut sebagai manajemen makna.

Oleh karena itu, yang kita butuhkan saat ini adalah sebuah revolusi, sebuah keberanian untuk mengadopsi cara baru dalam berkomunikasi. Fondasi dari revolusi ini sangat sederhana namun kuat, yaitu empati yang mendalam kepada para pendengar kita. Kita harus mulai dari memahami dunia mereka.

Seorang ahli komunikasi bernama Nancy Duarte menawarkan sebuah resep yang sangat kuat dan relevan untuk kita. Prinsip utamanya adalah: jangan pernah jadikan diri Anda sebagai pahlawan dalam cerita yang Anda sampaikan. Sebaliknya, angkatlah audiens Anda dan jadikan mereka sebagai pahlawan dalam narasi tersebut.

Dalam konteks Kementerian Kehutanan, pejabat bukanlah bintang film yang harus menjadi pusat perhatian. Bintang film yang sesungguhnya adalah para anggota DPR, investor global, atau kelompok tani hutan di pelosok desa. Merekalah yang setiap hari menghadapi masalah, tantangan, dan memiliki harapan besar untuk masa depan.

Dengan demikian, tugas sang pejabat berubah secara radikal; ia menjadi seorang “Mentor” atau pemandu yang bijaksana. Ia datang bukan untuk menggurui, melainkan untuk membentangkan peta, menawarkan perangkat, dan memberikan solusi. Ia hadir untuk memberdayakan sang pahlawan agar bisa mencapai tujuannya.

Setiap presentasi yang hebat juga harus memiliki sebuah jantung yang berdetak kencang, sebuah inti pesan yang kuat dan beresonansi. Inilah yang oleh Duarte disebut sebagai ‘Big Idea’ atau Gagasan Besar. Tanpa ini, sebuah presentasi hanyalah rangkaian informasi tanpa jiwa.

Gagasan Besar bukanlah sekadar sebuah topik seperti “Laporan Kinerja Triwulanan” yang terdengar datar dan administratif. Ia harus berupa sebuah kalimat utuh yang menyatakan sudut pandang yang unik. Ia harus bisa menjawab pertanyaan, “Jadi, intinya apa?”

Gagasan itu harus dirumuskan dengan jelas, tajam, dan menggugah, sehingga mampu mengubah cara pandang audiens. Misalnya, alih-alih mengatakan “Program Perhutanan Sosial”, katakanlah: “Melalui perhutanan sosial, kita sedang membangun benteng terakhir penjaga hutan sekaligus mesin ekonomi kerakyatan”. Beda sekali, bukan, rasanya?

Cerita yang hebat selalu membutuhkan drama, bukan alur yang datar dan dapat ditebak yang hanya akan membuat audiens mengantuk. Narasi yang kuat membutuhkan kontras yang tajam untuk menciptakan ketegangan dan ketertarikan. Ini adalah kunci untuk menjaga perhatian mereka.

Benturkanlah kondisi “apa adanya sekarang” yang penuh tantangan dengan visi “bisa jadi apa nanti” yang penuh harapan. Tunjukkan data deforestasi saat ini, lalu lukiskan gambaran Indonesia Emas 2045 yang hijau dan sejahtera. Dengan begitu, audiens akan merasa “gatal” dan terdorong untuk ikut berubah.

Lalu, bagaimana kita menerjemahkan narasi ini ke dalam slide? Lupakan kebiasaan lama yang membuat slide tampak seperti halaman koran yang padat. Mundurlah sejenak, dan pikirkan alur cerita Anda di atas kertas kosong terlebih dahulu, seperti seorang sutradara film.

Prinsipnya sangat sederhana namun sering dilanggar: satu slide, satu pesan utama. Jika Anda memiliki tiga poin penting yang ingin disampaikan, maka buatlah tiga slide terpisah. Jangan pernah menjejalkan semuanya ke dalam satu halaman dengan tiga bullet points yang membosankan.

Manfaatkan juga kekuatan magis dari ruang kosong atau white space dalam desain Anda. Sebuah slide yang bersih, yang hanya menampilkan satu gambar kuat atau satu angka statistik yang menonjol, justru menunjukkan kepercayaan diri. Itu menandakan bahwa Anda tahu persis mana yang paling penting.

Kini, mari kita bicara soal format penyampaian, karena di sinilah kita bisa menemukan senjata-senjata modern yang sangat ampuh. Ada dua format yang sangat menarik untuk diadopsi. Namanya adalah Pecha Kucha dan Gaya TED.

Pecha Kucha, yang berasal dari Jepang, adalah format yang menuntut kecepatan, keringkasan, dan dampak visual yang tinggi. Aturannya ketat: 20 slide, dan masing-masing hanya boleh tayang selama 20 detik secara otomatis. Format ini sangat cocok untuk laporan kilat kepada pimpinan yang sibuk.

Sementara itu, Gaya TED menawarkan pendekatan yang berbeda, yaitu kedalaman naratif dan koneksi emosional yang kuat. Dengan durasi di bawah 18 menit, fokusnya adalah membangun sebuah argumen yang persuasif. Tujuannya adalah untuk menyebarkan satu “ide yang layak disebar” dan menginspirasi aksi nyata.

Jadi, mana yang lebih baik di antara keduanya? Jawaban yang bijaksana bukanlah dengan memilih salah satu dan menyingkirkan yang lain. Seorang pemimpin yang hebat adalah seorang maestro yang memiliki banyak alat di dalam kotaknya, dan tahu kapan harus menggunakan masing-masing.

Gunakanlah sebuah pendekatan hibrida yang cerdas dan canggih, yang menggabungkan kekuatan dari berbagai format. Buka presentasi Anda dengan Gaya TED selama lima menit untuk merebut hati dan pikiran audiens. Kemudian, sajikan data-data pendukung Anda menggunakan slide yang jernih dan minimalis.

Tentu saja, semua ini tidak akan datang secara instan; ia membutuhkan latihan yang tekun dan komitmen untuk terus belajar. Diperlukan sebuah program pelatihan yang terstruktur dan komprehensif untuk seluruh jajaran. Dan yang terpenting, ini semua harus didukung oleh perubahan budaya organisasi.

Perubahan budaya ini harus dimulai dari atas, karena ikan membusuk dari kepalanya. Para pimpinan di jajaran tertinggi harus menjadi teladan utama. Mereka harus berani mencoba hal-hal baru dan merayakan setiap upaya inovasi komunikasi yang dilakukan oleh timnya.

Pada akhirnya, revolusi komunikasi ini bukan sekadar untuk gagah-gagahan atau mengikuti tren terbaru. Ini adalah tentang merebut kembali makna dari setiap data yang kita miliki. Ini adalah tentang mencipta narasi kehutanan Indonesia, bukan hanya untuk bangsa kita, tetapi juga untuk dunia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *