Mengapa Fasilitasi itu Penting?
Pertanyaan ini penting sekali, karena semakin banyak yang mempertanyakan; apakah suatu pertemuan sosial akan lebih efektif dan akan memiliki nilai tambah jika dipandu fasilitator atau tidak, dibandingkan dengan pertemuan tanpa fasilitator?
Pertanyaan inilah yang diajukan kepada para peserta Vibrant Facilitation Training Angkatan 34 pada sesi pertama.
INIKOPER kali ini, mengungkap perbincangan Tiga Pegiat Sosial, yaitu: Nina (Malang), Vida (Pemalang) dan Ucup (Pontianak), tentang beberapa pengalaman menarik yang ditemukan di lapangan.
Menurut Vida, yang melihat dari aspek Pendidikan Dasar dan Menengah di sekolah, ketika Guru mengajar di kelas, kerap masih berlangsung kurang menarik. Tidak terjadi komunikasi dua arah.
Dalam proses belajar mengajar di kelas, di mana para Guru berperan menyampaikan materi, semestinya juga menyerap aspirasi para murid-muridnya.
Permasalahan yang sekarang terjadi di lapangan, tutur Vida, terlihat ketika ana-anak mulai masuk ke sekolah formal.
Pada saat Guru mengajar, murid-muridnya hanya bisa mendengar saja, yang terjadi hanya komunikasi satu arah. Dan belum diberikan ‘ruang’ bagi murid-murid untuk menyampaikan aspirasi.
Memangnya apa yang salah?
‘’Ya, kalau anak-anak cuma mendengarkan saja, ya jadinya kasihan aja!’’
Guru hendaknya memahami bahwa anak-anak murid itu, sebenarnya mempunyai banyak potensi. Tetapi yang terjadi, ketika Guru mengajar, murid-murid hanya mendengarkan saja. ‘’Itulah yang terjadi di lapangan saat ini, kasihan aja sih mereka.’’ tutur Vida.
Cara penyampaian para Guru di depan kelas, masih terkesan tidak menarik, kurang bergairah dan kurang berenergi. ‘’Sepertinya, begitu-begitu aja dari dulu, kaya’ biasa banget gitu,’’. Padahal menurut dia, anak-anak itu, butuh role model dari Orang Dewasa yang ada di depannya.
Bagi Ucup lain lagi. Pegiat sosial yang kerapkali mengorganisir warga di lapangan, melihat bagaimana kiprah perempuan dalam Pembangunan Desa.
Menurut dia, sebenarnya cukup banyak persoalan di lapangan dalam hal dalam pendampingan di desa. Jika berbicara tentang keterlibatan Perempuan, dia menilai masih memprihatinkan. Perempuan yang dilibatkan masih sebatas memenuhi kewajiban terkait ketentuan formal saja.
Para perempuan yang terlibat dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa (Musrenbangdes) misalnya, umumnya tidak bisa bicara atau tidak mempunyai kesempatan menyampaikan aspirasi mereka. ‘’Entah karena kurangnya kapasitas pengetahuan atau karena agak takut untuk menyampaikan pendapat,’’
Lantas, apa akibatnya kalau perempuan takut dalam menyampaikan pendapatnya di dalam sebuah forum rapat desa?
Kalau menurut mereka (Ibu-ibu) sih nggak ada akibat apa-apa, yang penting mereka sudah datang, hadir, di absen juga sudah.
Maka Laporan dari Desa pun bagus-bagus saja, ‘’Kami menyusun Musrenbangdes, dengan melibatkan mereka (kaum perempuan), lihat…di foto juga mereka ada,’’ kata Lurah.
Padahal, pengetahuan Ibu-ibu (yang turut serta dalam Musrenbangdes) sebenarnya cukup mumpuni. ‘’Coba saja dengar ketika mereka sedang mengobrol sesamanya,’’.
Mereka bisa sangat kritis berdiskusi, bahwa sebenarnya kalau Desa ini mau membangun jalan, jangan di gang ini, seharusnya di gang itu dulu, karena gang di sana lebih penting, mudah kemana-mana (akses lebih mudah) dan banyak (dilalui) orang.
Mereka berani berbicara ketika sesama mereka, tetapi Ketika hadir di sebuah forum, mereka terkadang tampak bingung! ‘’Jadinya, ya, udah diem aja,’’
Padahal sebenarnya mereka sangat tahu persoalan yang terjadi di Desa mereka. Istilahnya, ada jalan berlobang kecil saja, ibu-ibu lebih tahu di mana letaknya karena mereka mengenal daerahnya dengan baik.
Dan jika diperhatikan, yang paling sering berinteraksi di Desa itu, sebagian besar adalah Ibu-ibu karena Bapak-bapaknya pagi-pagi sudah berangkat untuk bekerja. Baik pergi ke ladang, bekerja sebagai buruh tani, bekerja sebagai kuli angkut di pasar atau Tukang pada pekerjaan bangunan, dan lainnya.
Dalam pandangan Vida, Nina dan Ucup, kehadiran fasilitator akan sangat membantu Warga Desa untuk bisa menyampaikan aspirasi-aspirasi yang ada.
Fasilitasi itu penting karena pada kegiatan-kegiatan yang sudah terlaksana, itu masih tampak monoton dan dirasakan kurang tepat sasaran.
Semestinya pada setiap kegiatan di Desa, para pengambil kebijakan bisa mengakomodir aspirasi seluruh warga, sebagaimana dikatakan bahwa pembangunan itu dilaksanakan ‘’Dari rakyat, Oleh rakyat dan Untuk rakyat.’’