Kolaborasi dan Ketegangan Kreatif
Kolaborasi mudah diusulkan tapi sulit dilaksanakan.
Kolaborasi itu seperti obat mujarab untuk segala masalah pembangunan dan bisnis.
Benarkah kolaborasi itu memudahkan?
Atau sebaliknya?
Dani Wahyu Munggoro, dari INSPIRIT atau Inspirasi Tanpa Batas melalui Podcast INIKOPER (Inspirasi untuk Komunitas Perubahan), kembali berbagi cerita tentang bagaimana memahami KOLABORASI dalam menata ketegangan kreatif. Ikuti kisahnya!
Ada sebuah challenge dari suatu Organisasi, yang meminta saya melakukan fasilitasi dengan tema: ‘Bagaimana mencari format kolaborasi’. Sementara, Organisasi yang lain meminta saya me-review Visi, Misi dan Strategi Organisasi mereka. Kedua organisasi ini membuat saya bertanya-tanya ulang, tentang apa itu sebenarnya ‘KOLABORASI’?
Kolaborasi sering disejajarkan dengan kemitraan, kerjasama, gotong royong, koalisi dan lain-lain.
Kolaborasi sering disandingkan dengan kemitraan atau kerjasama. Di sisi lain, kolaborasi juga sering dipadankan dengan; koalisi, aliansi. Namun ‘kolaborasi’ juga mengandung konotasi negatif. Pada masa peperangan dulu, sebutan kolaborator dilekatkan kepada orang-orang yang bekerja sama dengan musuh. Terlepas dari soal itu, kolaborasi dianggap sebagai cara terbaik untuk mencapai tujuan bersama.
Lantas bagaimana caranya kita melakukan kolaborasi? Kolaborasi bisa dimulai dari koordinasi, koneksi dan kooperasi.
Adaptif, Kolaboratif Manajemen
Sekitar 30 atau 25 tahun silam, saya terlibat di dalam suatu kegiatan dengan sebuah lembaga internasional, yang membawa inisiatif tentang ‘adaptive, collaborative – management’.
Apa itu adaptive collaborative management? Pengertian ini saja, ketika itu, sempat menjadi perdebatan cukup panjang, khususnya tentang bagaimana sebenarnya melakukan manajemen yang adaptive dan collaborative.
Pengertian adaptif — dalam konteks ketika itu, adalah; bagaimana mengelola suatu landscape atau suatu Sumber Daya Alam dengan mengikuti irama alam itu sendiri. Bahwa alam itu sebenarnya memiliki keunikan tersendiri.
Maka pengertian adaptif di sini adalah bagaimana kita–merespon perubahan-perubahan yang ada di Alam itu sendiri, dengan tidak menutup kemungkinan adanya perubahan – perubahan sosial di sekitarnya.
Namun, manakala kita bekerja dengan kelompok masyarakat tertentu, kita melihat bahwa masyarakat (dimana kita bekerja) itu mempunyai budaya yang berbeda-beda. Ada budaya kerja yang cepat, ada yang lambat, ada yang ketat, ada yang longgar, dan sebagainya. Hal ini, tentunya menyebabkan intervensi atau cara kita bekerja dengan mereka, memerlukan penyesuaian, dengan ‘mengikuti’ irama sosial mereka.
Jadi di sini, menjadi penting bagaimana menata sebuah manajemen yang basisnya adalah: change, uncertainty dan complexity. Kita juga mengakui bahwa sistem sosial dan sistem alam itu kompleks.
Nah, bagaimana kita beradaptasi dengan kompleksitas semacam itu (?) Dalam hal inilah kita memerlukan kolaborasi.
Kolaborasi Itu Tidak Mudah
Kolaborasi adalah tentang bagaimana kita membangun kerjasama dengan berbagai pihak. Tentunya, diantara para pihak bisa memiliki jalan atau cara berbeda dalam mencapai sesuatu. Namun, untuk memastikan bahwa kita merespon kompleksitas alam dan kompleksitas sosial, sebenarnya memang tidak mungkin dikelola oleh satu pihak tetapi perlu berbagai pihak.
Bayangkan saja, di dalam kompleksitas sosial ini, ada komunitas, ada korporasi, ada local government, ada partai-partai, dan banyak lagi yang lainnya. Masing-masing mempunyai interest dan budaya kerja yang berbeda-beda, juga leadership yang berbeda-beda dan tenggat waktu yang berbeda-beda pula. Hal inilah yang menyebabkan proses kolaborasi itu, tidak mudah. Sama sekali tidak mudah!
Mengubah Power Over menjadi Power-Win
Berbeda dengan model kemitraan yang sifatnya power over. Di dalam proses kolaboratif dimana terdapat pihak yang kuasanya lebih, maka sebenarnya tidak mungkin terjadi kolaboratif. Kolaborasi justru terjadi apabila pihak yang memiliki power over itu, merasa tidak pasti juga bagaimana mewujudkan tujuannya.
Pada sisi lain, kita juga tidak akan berkolaborasi dengan pihak-pihak yang memiliki kelemahan. Maksudnya, bahwa kolaborasi terjadi kalau pihak yang akan berkolaborasi itu memiliki power. Karena itu di dalam kolaborasi, yang akan terjadi adalah Power-Win bukan Power-Over.
Pertanyaannya, bagaimana caranya supaya power over berubah menjadi power-win? Dalam hal inilah, diperlukan peran fasilitator. Peran – peran yang konten netral dan bisa mengajak semua pihak berbicara sesuai interest-nya.
Jadi, tidak bisa salah satu pihak berharap memiliki kuasa atas segalanya. Jika salah satu pihak merasa lebih kuasa, maka yang akan menonjol itu justru tension atau ketegangan yang bisa berujung pada konflik.
Kolaborasi bisa terjadi apabila satu pihak memiliki kelebihan dan pihak lain mempunyai kelemahan, kemudian pihak yang memiliki kelebihan ini, memberikan resources untuk bisa dilakukan oleh pihak lain.
Ada juga kolaborasi yang sifatnya artificial, ketika dua pihak bertemu hanya karena masing-masing mempunyai kegiatan: ‘’Saya punya kegiatan ini, Anda punya kegiatan itu,’’ kemudian mereka pun bekerjasama tetapi keduanya tidak investasi apa-apa. Nah, kerjasama ini, sifatnya bahkan superficial atau dangkal, meskipun tidak mengganggu tujuan-tujuan strategis dari organisasi yang bermitra.
Ketegangan Kreatif dan Tantangan Fasilitator
Kolaborasi yang bersifat power-over, cenderung memiliki peluang untuk bersitegang. Mengapa? Karena di sini ada pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan mission, vision dan juga strategi. Ketegangan atau tension bahkan bisa meningkat, apabila strategi yang sedang dilakukan, tidak sesuai dengan visi dan misi salah satu pihak.
Karena itu, kolaborasi bukan proses yang cepat. Pada tahapan inisiasi saja, bisa terjadi berkali-kali fallback atau mundur kebelakang. Misalnya, kalau kita bekerjasama dengan organisasi-organisasi besar, siapa yang mewakili pada saat proses pengambilan keputusan? Itu juga bisa mempengaruhi: apakah keputusan itu mempunyai implikasi ke masing-masing organisasi; apakah setiap orang yang mewakili berganti, juga akan berganti rumusan-rumusan keputusannya (?) Nah disini, kolaborasi menjadi lebih rumit. Apalagi kalau melibatkan multi pihak, maka itu akan sangat-sangat kompleks.
Banyak tantangan yang sebenarnya menjadi peluang bagi seorang fasilitator untuk berperan di dalam proses kolaborasi.
Pada masa lalu, kolaborasi hanya terjadi antar dua pihak, seperti: Komunitas – Corporate atau Komunitas – Pemerintah, kemudian di fasilitasi. Model kolaborasi dua pihak, lebih sederhana dibandingkan kolaborasi multipihak, yang aktor-aktornya akan lebih banyak lagi.
Tahapan kolaborasi bisa berproses dari; apakah bermitra dulu, kemudian berkoalisi atau bahkan kolaborasi dimulai dengan prinsip co- existence, di mana masing-masing menyepakati untuk tidak saling mengganggu, tetapi bekerja sesuai dengan tujuan bersama.
Misalnya, kita tahu bahwa esensi dari kerja public organization itu, adalah melayani warganya, dan bagaimana supaya warganya itu bahagia. Nah, tujuan itulah yang sama-sama ingin diwujudkan. Di satu pihak lewat pengelolaan sumber daya alam, yang satu lagi melalui pelayanan kesehatan, atau ada juga pihak yang melalui Pendidikan atau ekonomi. Dalam hal ini, kolaborasi tidak mesti berbentuk formal engagement, tetapi sifatnya bisa informal, karena ketika kolaborasi berubah menjadi formal, terkadang justru tidak terjadi kolaborasi atau sekadar formalitas yang sebenarnya tidak terjadi apa-apa. Tantangan- tantangan semacam inilah, yang mengganggu pemikiran kita.
Terlebih penting lagi, apakah kolaborasi itu, saat ini penting untuk dipercakapkan? Jika dianggap penting untuk dibicarakan kembali, maka tentunya kolaborasi harus dihubungkan dengan konteks saat ini, dimana kita berada dalam kondisi serba ketidak-pastian. Selain itu, isu-isunya juga semakin kompleks. Misalnya tentang karbon, tentang climate change dan yang lainnya, yang tidak sesederhana dibandingkan isu-isu pada dua atau tiga dekade silam.
Karena itulah, revisit collaborative akan menjadi pembicaraan yang menarik dalam waktu dekat ini. Khususnya tentang bagaimana format kolaborasi untuk community forestry atau kehutanan sosial. Sehingga isu-isu pembangunan ekosistem social forestry bisa secara bertahap dibangun. Bukan hanya sekedar sebuah program atau project semata.