Racun Bernama Deficit Based Thinking

Selama dua puluh tahun, saya dan teman-teman berbagi cerita tentang Strengths-Based Approach (SBA) di Indonesia. Bagi saya, SBA adalah antidota untuk racun bernama Defisit-Based Thinking (DBT).  Apa sebenarnya racun DBT? 

Dani wahyu Munggoro dari INSPIRIT atau Inspirasi tanpa Batas melalui Podcast INIKOPER, kembali berbagi cerita menarik tentang Pembangunan dengan pendekatan Deficit based Thinking, yang dominan dilaksanakan tetapi dampaknya, masih memprihatinkan dan jauh dari yang diharapkan. Maka, sudah saatnya kita tinggalkan DBT dengan mengadopsi pendekatan Strength Based Approach  atau pendekatan yang bertumpu pada Kekuatan.    

Ikuti cerita dan pengalamannya!

Tiga bulan yang lalu, seorang sahabat di Australia mengontak saya. Ia seorang konsultan pembangunan yang pernah tinggal di Indonesia cukup lama.

Waktu kita bertemu, kita sama-sama sedang mengeksplorasi apa yang disebut dengan strength based approach (SBA). 

Pendekatan SBA belum populer ketika itu, karena tenggelam oleh  pendekatan yang dominan berfokus pada cara berpikir deficit based thinking.

Pendekatan Deficit Based Thinking (DBT)

Pendekatan DBT adalah pendekatan yang berfokus untuk menemukan masalah, di mana pembangunan sendiri ‘diterjemahkan’ sebagai upaya untuk memecahkan masalah-masalah masyarakat.

Ada banyak program dilaksanakan untuk peningkatan kapasitas, karena adanya keyakinan bahwa pembangunan itu, akan berhasil jika sumber daya manusianya juga mumpuni.

Pada saat saya dikontak sahabat di Australia  ini, ia menanyakan, apakah saya bersedia memberikan endorse untuk buku yang sedang ia dan kawan-kawannya tulis?

Rupanya, mereka sedang menulis tentang strength base approach yang dipakai oleh berbagai proyek bantuan Australia di seluruh dunia. Dan Indonesia, adalah salah-satu yang menjadi contoh kasusnya.

Strengths Based Approach

Saya dikirim satu copy draft bukunya, maka seminggu ini saya membaca pelan-pelan dulu yang harus saya endorse itu. Buku ini mengupas berbagai hal kaitannya dengan strength based approach. Mulai dari sejarahnya, konsep-konsepnya, contoh-contoh pemanfaatannya. Dan yang paling penting adalah  bagaimana cara menggunakan SBA  ini.

Ketika membaca buku SBA, sebenarnya saya tidak terlampau fokus padanya, karena dari sejak tahun 2002 atau 21 tahun yang lalu, saya sudah menetapkan diri untuk mempromosikan Strengths Based Approach pada berbagai kesempatan. Baik pembangunan oleh Pemerintah, maupun  Organisasi Non Pemerintah atau Organisasi  Masyarakat Sipil dan juga (kalau dimita)  perusahaan-perusahaan.

Esensi yang saya tekankan pada berbagai kesempatan itu sebenarnya bahwa; selama ini kalau kita menggunakan cara berpikir yang terbalik, yaitu tidak menggunakan SBA, kebanyakan setelah proyek itu berhenti dia tidak belanjut. 

Apa yang tidak berlanjut? Macam-macam. Cerita- cerita dari proyek itu habis dan orang yang concern pada proyek itu habis juga, uang habis dan bahkan kalau ada barang-barang yang sifatnya infrastruktur, bisa jadi ikut habis juga.

Jadi di sini yang menarik adalah, bahwa pendekatan Strengths Based Approach  ini melawan apa yang dominan yang disebut Deficit Based Approach.

Project Based, Kritik Utama terhadap DBT

Pada pendekatan Deficit Based Approach yang terkenal adalah gagasan PROJECT BASED. Jadi kalau kawan-kawan ngobrol dengan orang-orang Pemerintah atau dengan kawan-kawan NGO atau Organsisasi Non Pemerintah, mereka selalu kesal dengan apa yang disebut pendekatan proyek, ‘’Kalau pendekatan proyek, tidak akan pernah berhasil deh!’’ kalimat itu sering sekali terdengar.

Mengapa? Karena pendekatan deficit-based thinking selalu dimulai dari; apa masalahnya?  Kemudian dilakukan analisis, setelah analisis  kemudian muncul pilihan solusi.  Ketika ada pilihan solusi, baru diputuskan prioritas solusi. Akhirnya, setelah ada prioritas solusinya, maka dipilihlah yang mana proyek yang ada anggarannya. 

Kalau tidak ada uangnya biasanya berhenti di Ide saja. Lalu kenapa harus capek-capek menggunakan Deficit Based Thinking, kalau ujung-ujung  ceritanya yang dipilih adalah yang ada uangnya? Karena itulah saya mencoba mempromosikan strength base approach.

Negative Mental Model

Pendekatan yang dominan terhadap Deficit Based Thinking, mengundang beberapa kritik. Yang pertama, DBT maka akan melahirkan Negative Mental Model, karena pada saat kita bertanya, kita sebenarnya betul-betul ingin mencari apa masalahnya!

‘’Para konsultan pembangunan akan merasa

bahagia kalau menemukan masalah,

karena mesin pembangunan bisa bekerja,’’

Ketika saya jadi warga dan ditanya,  apa masalahnya? kadang dijawab baik-baik saja. Biasanya para konsultan pembangunan tidak terlampau bahagia, kalau  jawabannya baik-baik saja. Harus dicari, ‘’Masa nggak ada masalahnya Pak?’’  

Kemudian ditanya, apakah ada ini, ada itu? Kalau dijawab TIDAK, itu pun kemudian dikejar sampai pada satu titik, muncul apa yang disebut masalah. Dan para konsultan pembangunan ini bahagia kalau ada masalah, karena mesin pembangunan itu, baru akan merasa suka kalau ada masalah.

‘’Apa yang disebut masalah hari ini adalah solusi di masa lalu. Dulu dianggap solusi, sekarang jadi masalah!’’

Pada saat ada masalah itulah, mesin pembangunan mulai bekerja. Mulai melakukan analisis, kemudian mencari solusinya, begitu seterusnya. Jadi, ada guyonan, bahwa apa yang disebut masalah hari ini adalah solusi di masa lalu. Dulu dianggap solusi, sekarang jadi masalah.

Jadi apa yang disebut dengan negative metal model adalah; bahwa dari sejak awal dilakukan eksplorasi terhadap warga, hingga kadang-kadang yang tadinya tidak ada masalah, sekarang jadi ada masalah.

Munculah negative mental model, hingga saya bertanya-tanya: ‘’Perasan tadi pagi nggak ada masalah, tapi setelah Mas-mas ini datang, kenapa saya jadi punya masalah ya?’’

Dulu apa yang dilihat warga bukan masalah atau normal-normal saja, ketika didesak pertanyaan, apakah ini ada, apakah itu ada? Maka, ketika dijawab tidak ada, itulah masalah.

Mengapa Deficit Based Thinking harus dihentikan, karena sejak awal yang diciptakan adalah negative mental model. Warga yang tadinya merasa tidak miskin menjadi merasa miskin, yang tadinya tidak merasa bodoh jadi merasa bodoh.

Nah kalau DBT diteruskan, akan timbul problem. Proyek DBT akan berhenti ketika uangnya habis, kalau uang habis, ya project itu pun habis!

Distorsi View

Catatan kedua, DBT ternyata menciptakan distorsi view.

Kita mengalami distorsi pada apa yang kita lihat. Ketika semua didefinisikan TIDAK ADA, (tidak ada ini, tidak ada itu), akan menyebabkan distorsi, karena ‘kan (sebenarnya) banyak hal lain yang ada? Sebagai contoh, di kampung ini, tiba-tiba merasakan tidak ada segalanya, karena itu harus minta bantuan orang luar untuk bisa memecahkan masalahnya.

Tetapi yang kemudian menjadi pertanyaan, mengapa di tempat-tempat yang dianggap miskin itu, mereka bekerja keras dan bahkan warga sehari-hari sibuk sekali?

Mereka yang disebut miskin itu, kadang karena malas, tidak punya keterampilan. Padahal, tidak begitu! Coba lihat, di suatu kampung mulai jam 02.00 pagi dini hari,  mereka sudah bangun untuk bersiap siap pergi ke pasar atau ke ladang (sementara para konsultan itu masih tertidur), penduduknya sudah bangun dan bekerja sejak dini hari.

Saya teringat waktu kecil, di kota kecil Wonosobo, pada jam 3 – 4 dini hari, orang-orang sudah jalan kaki menuju ke pasar Wonosobo. Boleh jadi mereka sudah jalan dari jam 02.00 pagi dari desa-desa di pegunungan.

Kenapa bisa mereka disebut miskin, malas, tidak punya kapasitas? Itulah bias pendekatan DBT, yang tidak bisa melihat kenyataan sepenuhnya. Padahal banyak yang tidak terlihat, yaitu energi, kekuatan-kekuatan di masyarakat. Tapi DBT  tidak melihatnya.

Kalau semua orang bangun sejak dini hari untuk mempersiapkan berangkat ke pasar, menjual hasil buminya, membawa sayuran dan mengemasnya,  kemudian memanggul atau menjinjing dengan berjalan kaki ke pasar lalu menjualnya? Bukankah, ini sesuatu yang luar biasa? Pulang dari pasar, mereka mendapat uang ala kadarnya untuk sekadar memenuhi kebutuhannya, membiayai keluarganya, anak-anaknya tanpa meminta-minta kepada siapapun.

Distorsi semacam ini yang sebenarnya, menyebabkan bahwa  DBT itu (gagal) karena kita tidak bertemu dengan orang-orang keren semacam ini.

Kalau kita bikin FGD di kampung, jam berapa? Yang hadir siapa? Dalam kegiatan seperti ini, kadang tidak akan bisa terlihat karena banyak dari mereka yang tidak ada di situ karena mereka bekerja, sedang di pasar, mungkin sedang di tengah hutan, sehingga tidak bisa ikut rapat.

Budaya Menyalahkan dan Sok Tahu!

Yang terakhir, bahwa DBT kemudian melahirkan budaya blaming, budaya defensive. Yang dimaksudkan adalah; kalau ada percakapan di ruang-ruang Pemerintahan, sebut saja di Jakarta, ketika mereka mendiskusikan komunitas atau masyarakat yang jauh di sana, pandangannya itu, terkesan sok tahu banget!

Sekadar contoh. Belum lama ini, ada suatu kampung di pedalaman yang ingin membuat festival. Mereka sangat bersemangat untuk  melakukan itu. Ada yang latihan, ada yang bersih-bersih, ada yang bikin ini, bikin itu, dan lainnya.

Tetapi kemudian, muncul komentar-komentar dari luar,  bahkan –dengan pola pikir DBT– mereka menasehati macam-macam; ‘’Itu tolong jalan utamanya diperbaiki ya, tolong kontak ini, tolong perbaiki ini, perbaiki itu,’’ dan lainnya. Pokoknya semuanya dibahas, yang bagi terkesan aneh. Kenapa Anda memberikan nasehat? Kan nggak diminta?!

Melihat respons begitu, muncul pertanyaan kita, kalau warga kampung itu mau membuat festival, mereka  bukan mau meniru yang lain.

Pertanyaannya kemudian adalah; apa yang bisa membuat ‘bahagia’ orang-orang di kampung sana dengan melakukan festival itu?

Festival rakyat yang sebenarnya adalah untuk mereka atau self-festival  tentang pesta pesta di kampung itu, tetapi  ketika dikomersialkan atau menjadi tontonan, itu menjadi masalah, sebab memang memerlukan kesiapan kesiapan lain.

Saya pernah punya tempat tinggal, yang kemudian dijadikan heritage. Setiap hari Sabtu dan Minggu, banyak turis yang datang untuk menonton kehidupan kita, yang sebenarnya biasa biasa saja.

Ketika kita ditonton, itu (muncul perasaan) nggak enak. Sementara mereka menilai: ‘’Oh ini bangunannya masih asri, masih asli,’’

Padahal bagi kami bukan apa-apa, rumah itu tidak dibangun semata karena memang kita tidak punya uang! Bukan soal bagunan itu dilestarikan.

Itulah bias-bias yang terjadi ketika kita belajar tentang deficit-based thinking. Untuk itu perlu ‘dijinakkan’ karena; Pertama, membuat mental negative, yang kedua; mengacaukan cara kita melihat realitas dan ketiga; menimbulkan budaya menghakimi, menilai bahwa mereka ‘lebih rendah’ sehigga muncul di kepala untuk menasehati! Sudah saatnya, kita meninggalkan pendekatan Deficit  Based Thinking dalam pembangunan. Sebaliknya,  mempromosikan pendekatan Strengths  Based Thinking, yang dalam banyak hal lebih baik dan berkelanjutan.    

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *